Kisah Preman di Kalijodo Antara Suku Mandar dan Bugis Rebutan "Lahan"

Organisasi para pemuda penganggur menjadi alat untuk mengamankan lapak-lapak jud1. Juga mengamankan para “bandot” istilah untuk para bandar jud1. Dalam organisasi tersebut terdapat kekuatan cadangan sekitar seribu anak-anak muda yang bisa menjadi pasukan pemukul. Kelompok inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai “Anak Macan”.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Idham Azis tentang “Organisasi ‘Arkan Malik’ dalam Pengelolaan Jud1 di Kelurahan ‘X’ Jakarta. Disebutkan bahwa “Anak Macan” adalah struktur paling bawah dari organisasi jud1 milik Asman. Namun walaupun menduduki tempat paling bawah, grup ini memiliki peranan besar sebagai pasukan khusus.

Masih menurut penelitian tersebut, “Anak Macan” tidak memiliki tugas khusus seperti karyawan lainnya. Mereka bukan karyawan atau petugas operasional dari kegiatan perjud1an. Tenaga mereka sewaktu-waktu dibutuhkan seperti pasukan cadangan, untuk menjaga lokasi perjud1an. Namun jumlah mereka paling banyak dibanding karyawan yang lain, bahkan ada yang menyebut jumlahnya sampai seribu orang.
pinggiran kalijodo

Mereka ditampung dalam pos-pos atau divisi yang ada. Antara lain di bangunan yang belum digunakan oleh organisasi tersebut. Yang tidak kebagian “barak” tinggal di rumah-rumah kontrakan dekat lokasi jud1. Menurut penelitian tersebut, mereka “dipelihara” dengan pertimbangan agar tidak menjadi “preman liar”. Dengan koordinatornya Arkan Malik. Walaupun dalam organisasi, mereka memiliki aturan­aturan seperti tidak boleh membuat onar, mabuk, atau minum obat-obatan terlarang di sekitar lokasi perjud1an, namun pada kenyataannya banyak juga “Anak Macan” yang sering membuat onar.18

Ketangguhan kelompok ini pernah teruji ketika mereka berhasil menghalau serbuan pasukan berjubah dari Front Pembela Islam (FPI) yang hendak menganggu lokasi perjud1an Kalijodo. Saat itu, FPI lari tunggang-langgang masuk jalan tol setelah kewalahan menghadapi pasukan bersenjata tajam itu. Bahkan dari penelitian tersebut, didapatkan informasi bahwa kelompok ini berhasil menyusupkan beberapa anggotanya ke dalam tubuh FPI, sehingga gerakan kelompok bersorban itu selalu terpantau, khususnya jika ada rencana penyerangan ke Kalijodo.

Berbeda dengan Asman, kelompok Bedul walaupun tidak terorganisir serapi saingannya, tapi tetap tak bisa dianggap remeh. Kelompok ini memiliki ratusan pengikut setia yang selama ini menumpang hidup dengan keberadaan tempat perjud1an dan hiburan malam. Mereka terikat oleh perasaan senasib sebagai perantauan asal satu kampung halaman.

Berdasarkan hubungan kekerabatan tadi, munculah pola hubungan semacam patron and client relationship. Para pemilik lapak yang menyewakan lahan kepada para “bandot” atau bandar jud1, menjadi induk semang. Mereka dikitari oleh kelompok inti yang masih merupakan bagian keluarga atau karib dekat sebagai pengelola bisnis. Sedangkan lingkaran luar, sebagai penjaga, tukang pukul, pengantar penjud1, diisi anak-anak muda pengangguran. Mereka semua menggantungkan penghidupan kepada perputaran meja jud1.

Hanya saja, jika Asman mengandalkan kelompok “Anak Macan” untuk mengamankan tempat usahanya, Bedul mengamankan lahan jud1nya dengan menjadikan para pengangguran sebagai “Hansip”.



Pada puncak-puncak ketegangan antar dua kelompok setelah pembunuhan Udin oleh Jalal, kami menempatkan pasukan penuh dari Polsek Metro Penjaringan, dibantu pasukan bantuan dari Polres Jakarta Utara. Keputusan untuk meminta bantuan kekuatan yang lebih besar, kami putuskan mengingat jumlah personil Polsek yang hanya 200 personil jelas tidak akan mampu mengatasi keadaan, jika pecah konflik terbuka yang melibatkan ribuan massa. Rupanya keberadaan polisi dalam jumlah besar dan bersenjata lengkap di lokasi, sebelum pertempuran meletus, sangat efektif. Suasana berangsur-angsur tenang. Sehingga dalam waktu relatif singkat, keadaan memang sudah dapat dikendalikan.

Suasana itu juga didukung oleh kesigapan anggota kami yang dalam waktu tak lebih dari 24 jam setelah kejadian, berhasil menangkap Jalal. Sehingga kami bisa meredakan kelompok yang marah setelah kehilangan seorang anggotanya.

Bagaimana kami menangkap Jalal? Untuk mengejar Jalal, Kepala Unit Reserse dan Intelejen, Polsek Metro Penjaringan, Inspektur I, Rony Samtana, memerintahkan satu Tim Buru Sergap yang saat kejadian sedang berada di Cikampek, Jawa Barat, sedang menangani masalah pencurian kendaraan bermotor, segera ditarik ke Penjaringan untuk menangani kasus ini.

Kami jelas tidak mau menunggu terlalu lama. Gerak cepat diperlukan sebelum masalahnya berkembang terlalu jauh. Kami seakan berkejaran dengan waktu, dalam situasi yang panas oleh konflik. Isu dan rumors biasanya berdesingan secepat peluru. Berita dari mulut ke mulut seringkali mengipasi bara yang sudah menyala, sehingga dapat memancing masalah menjadi lebih besar. Jadi kami ingin segera menyelesaikan masalah sebelum masalahnya menjalar ke mana-mana dan semakin sulit dikendalikan.

Tindakan cepat bukan tanpa alasan. Beberapa kasus kerusuhan di berbagai daerah seperti kerusuhan di Tasikmalaya akhir tahun 1996, Sanggauledo, Kalimatan Barat, dan Ketapang, Jakarta Pusat yang menjalar sampai ke Ambon, Maluku 1999-2002. Peristiwa itu berawal dari penganiayaan biasa yang terlambat ditangani.

Kasus ini dengan cepat berubah menjadi perkelahian antarkelompok, muncul provokasi­provokasi dari kelompok tertentu yang ingin mengail di air keruh. Sehingga masalah yang pada awalnya sederhana bisa menjadi runyam. Bagi aparat keamanan, khususnya polisi, yang tidak menginginkan kasus ini menjadi besar, tentu akan lebih mudah mematikan api rokok ketimbang memadamkan kebakaran besar.

Bukankah ada nasihat bijak dari filsuf Tiongkok, Lao Tze, “Selesaikan soal ketika masih kecil. Siapa yang mahir mengatasi soal kecil, tidak akan terpaksa mengurus soal besar. Yang bangga karena mengurus soal besar, sebenarnya telah alpa mengurus soal kecil,” kata filsof ini.19

Saya tidak ingin Kalijodo menjadi arena pertentangan antaretnis. Pelajaran mahal telah kita dapatkan dari kasus bentrokan antara kelompok preman yang menjaga tempat hiburan dan perjud1an bola tangkas di Ketapang, Jakarta Pusat. Kebetulan para preman tersebut berasal dari Indonesia Timur (baca, Ambon).

Bentrokan yang berujung pada pengusiran kelompok preman Ambon di Jakarta tersebut, ternyata mempunyai ekor yang panjang. Kelompok yang terusir kemudian melebarkan front pertempuran di daerah asalnya di Ambon. Dan, Ambon terbakar dalam waktu yang lama, hampir tiga tahun konflik berlarut-larut tanpa penyelesaian.


Pelajaran mahal itu selalu terngiang dalam pemikiran saya. Tidak bisa dibayangkan jika perseteruan antara kelompok Mandar dan Makassar di Kalijodo juga melibatkan kelompok Roni bukan nama sebenarnya yang beretnis Serang, Banten. Kelompok Roni menguasai wilayah sebelah barat Kalijodo, Kecamatan Tambora. Namun, karena letaknya di perbatasan kecamatan, jarak antarkelompok tak lebih dari selemparan batu dan hanya dipisahkan oleh sungai.
Bagaimana jika konflik terjadi dan sampai membuat kelompok Serang mengerahkan massanya dari Banten. Bukankah kelompok ini tinggal nglurug dari arah barat Jakarta dan dalam sekejab kawasan sempit dan padat penduduk itu bisa rata dengan tanah.

Sementara satu kelompok yang kalah perang terusir pulang ke kampung halamannya, membawa dendam-dendam kebencian dengan etnis tertentu. Lebih berbahaya lagi jika dendam itu diperlebar tak hanya kepada etnis Serang, tetapi kepada or­ang Jawa di Sulawesi Selatan. Jika itu terjadi, sungguh sulit di-bayangkan, masalahnya menjadi sangat runyam dam sulit diselesaikan. Karena itulah kecepatan untuk menuntaskan masalah menjadi sangat penting. Kecepatan inilah kunci utama yang akan menutup kemungkinan munculnya provokasi-provokasi dari luar, mencegah desas-desus yang berpotensi memperkeruh keadaan.

Polsek sebagai bagian organisasi kepolisian, yang berada di garis depan, berhadapan langsung dengan masyarakat, memang memiliki kewenangan otonom, sehingga bisa bertindak cepat untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminal di lingkungan yang menjadi kewenangannya. Tulisan para pakar di media massa banyak memberi inspirasi untuk bertindak cepat dalam kasus-kasus kriminal yang berpotensi menjadi kerusuhan sosial dalam skala yang luas. Dalam satu tulisannya, sosiolog Parakitri Simbolon memberikan penjelasan:

Dulu penjajah tahu urgensi bertindak cepat dan otonom. Seperti diceritakan Pangeran Aria AchmadDjajadiningrat, seorang putra Banten yang amat terkemuka dalam birokrasi Belanda dulu. Pada tahun 1880-an, kakek Achmad Djajadiningrat, Aria Natadiningrat, diganjar dengan jabatan Demang Patih di daerah Banten karena sukses menyelesaikan kerusuhan sosial, yaitu culik. Banyak desa di Banten ketika itu ditinggalkan penduduk karena takut culik.


Belanda meminta Natadiningrat mengatasi masalah itu. Natadiningrat bukannya mengirim polisi atau serdadu. Penduduk percaya, penculik bertubuh besar, berjanggut panjang, dengan pedang panjang dan pentungan besar. Dahsyat. Setelah kerja keras memeriksa keadaan, Natadiningrat paham, penculik adalah para jawara yang mula-mula menakut-nakuti anak­anak gembala dengan tampang seram, sehingga anak-anak itu lari ketakutan ke kampung mereka. Setelah seluruh kampung lari mengungsi, para jawara bebas menguras harta yang ditinggal.

Dengan bantuan beberapa polisi, Natadiningrat segera menangkap beberapa penculik, lalu mengurung mereka. Mereka lalu diikat pada tonggak-tonggak di pintu pasar. Ia menyediakan rotan pemukul, lalu mengizinkan semua pengunjung pasar memukulkan rotan sekuat tenaga di punggung tiap tangkapan, tetapi hanya boleh sekali saja. Akibatnya pasar menjadi amat ramai, dan peristiwa culik lenyapseluruhnya hanya dalam beberapa hari, dan tidak pernah muncul lagi selama Natadiningrat memangku jabatannya sebagai Demang Patih.20

Ketepatan dan kecepatan itu, kata kunci penyelesaian masalah. Setelah Tim Buser tiba di kantor dan segera mempelajari kasus, menggali informasi dan menganalisanya, kesimpulannya, tim segera diperintahkan meluncur ke Serang, Banten. Pagi-pagi buta anggota kami sudah mengejarnya ke sana. Mengapa tim berangkat ke Serang? Walaupun Jalal berasal dari kelompok Mandar, ia telah beristri gadis Serang. Menurut informasi, ia kerap mengunjungi nenek isterinya di daerah tersebut. Namun dari pengejaran ke rumah nenek dan mertua Jalal, tim tak menemukan si pelaku yang memiliki nama samaran Rizal.

Walaupun demikian, jejak Jalal telah terendus. Tim mendapatkan informasi penting yang menyebutkan Jalal pergi ke rumah pamannya untuk mengobati lukanya, di daerah Labuan. Tepatnya di ujung Serang, jauh melewati Pantai Anyer. Ternyata benar, ia ada di sana. Lewat pengepungan pada senja hari menjelang magrib, tim berhasil meringkus Jalal.21
Keberhasilan menangkap pelaku pembunuhan dalam waktu yang singkat cukup penting, terutama untuk meredam amarah kelompok yang telah kehilangan anggotanya. Akan timbul kepercayaan dari kelompok yang marah bahwa polisi tidak tinggal diam dan telah bergerak cepat.
Penegakan hukum yang tegas juga berlaku pada Bedul. Ia kami tangkap dengan dasar penganiayaan dan kepemilikan senjata api ilegal. Ini untuk menunjukkan kepada kelompoknya bahwa tidak bisa seseorang main hakim sendiri dan bergaya koboi menenteng senjata api.

Penangkapan Bedul diawali oleh adanya laporan pengaduan dari Amrul, korban pemukulan Bedul, ke Polsek. Pemukulan dengan gagang pistol itu ternyata membuat bengkak di pipi dan bibir Amrul. Hal ini dikuatkan oleh Visum et Repertum yang dikeluarkan Dokter Johannes Gunawan dari Rumah Sakit Pluit. Dokter menyimpulkan yang menyebabkan luka Amrul adalah akibat kekerasan benda tumpul.22

Bedul ditangkap oleh Tim Reserse Polres Jakarta Utara, sehari setelah kejadian. Dari Bedul juga disita sepucuk pistol jenis FN merk Fegarmy, berikut dua butir peluru. Selain itu, turut disita pula surat tugas dari sebuah perusahaan distributor dan penjualan senjata api dan bela diri. Menurut pengakuan Bedul, ia memukul Amrul, karena ia menduga anak buah Amrul yang melakukan pembunuhan terhadap adiknya. Amrul memang salah satu tokoh “Anak Macan”. Sebenarnya pada saat kejadi-an, Amrul berada di dekat TKP setelah ia diminta oleh anggota Polsek mencari si pembunuh yang termasuk anggota kelompoknya.

Sedangkan pengakuan Bedul, soal kepemilikan senjata api yang ada di tangannya sudah sah. Ia mengaku memiliki izin membawa senjata, dan sudah mendapatkan izin kepemilikan senjata api yang dikeluarkan oleh Mabes Polri. Walaupun demikian, tentu saja penggunaan senjata ada aturannya. Dalam keterangan pihak PT. Budiman Maju Megah, perusahaan yang mengeluarkan senjata Bedul, diperoleh informasi bahwa ia hanya rekanan perusahaan importir senjata tersebut dan tidak diperbolehkan menggunaan senjata berbahaya itu secara serampangan.

Apalagi ternyata, surat tugas yang dikeluarkan perusahaan tersebut bersifat sementara untuk membawa, selama proses menunggu surat izin resmi dari Mabes Polri. Selama izin belum keluar, senjata masih menjadi milik PT Budiman Maju Megah. Pada akhir keterangannya, pihak perusahaan tersebut menyatakan, perbuatan yang dilakukan Bedul apabila melanggar hukum dan ketentuan yang berlaku, patut diberikan sanksi sesuai bobot pelanggarannya.

Soal penodongan terhadap Kapolsek, menurut pengakuan Bedul di depan penyidik, ia tidak tahu menahu ada petugas di tempat kejadian. Ia menodongkan senjata kepada Kapolsek, mengingat saat kejadian malam hari dan Kapolsek tidak berpakaian dinas.23

Penangkapan terhadap dua pelaku kejahatan dari dua kelompok yang berseteru penting sekali untuk menunjukkan keseriusan aparat keamanan. Ini penting dilakukan agar kelompok yang tadinya sudah mengasah senjata, percaya kepada aparat dan menyerahkan penyelesaian kepada petugas, tidak bertindak main hakim sendiri.

Atas tindakannya, belakangan Bedul mendapat ganjaran dari pengadilan selama tiga bulan. Secara jujur, saya kecewa dengan putusan pengadilan yang terlalu ringan atas or­ang yang telah melawan petugas dan hampir saja menimbulkan keributan dalam skala yang luas di Kalijodo.

Pembunuhan Udin memang menambah daftar panjang aksi-aksi kekerasan antardua kelompok di Kalijodo. Peristiwa yang lebih tragis sebenarnya pernah terjadi pada tahun 1993. Cerita dari para tetua dan petugas polisi yang lama bertugas di daerah tersebut menyebutkan, saat itu dari kelompok Makassar ada jagoan yang terkenal bernama Daeng Leang, yang juga membuka usaha perjud1an di daerah tersebut. Di puncak konflik Daeng Leang dibunuh oleh kelompok pesaingnya. Cerita pembunuhan tersebut dilukiskan oleh Majalah Tempo, seperti sebuah drama yang berujung pada tragedi:

Di tengah malam itu rumah jud1 kelompok Asman, sekitar 200 meter dari rumah jud1 kelompok Leang kebanjiran petaruh. Lalu terjadi perang mulut antara petaruh dan bandar jud1. Buntutnya, meja jud1 dibalikkan. Seorang oknum aparat, yang diduga membekingi kelompok Leang, menarik pelatuk senapannya, “dor”. Tidak ada korban, kecuali petaruhnya lari tunggang langgang. Para pel4cur menjerit ketakutan, di tengah bau minuman. Kelompok Asman menduga ulah itu datang dari Leang. Selasa malam, kedua kelompok saling lempar batu bata. Tujuh rumah rusak ringan. Bentrokan reda setelah aparat Polsek dan Koramil Penjaringan datang mengamankan. Rabu malam akhir September, Leang dan rekannya, Akong mengira situasi sudah aman. Mereka datang ke rumah jud1 kelompok Asman. Ternyata, Leang mengantar nyawanya. Akong berhasil kabur menyelamatkan diri. Leang ditusuk anak buah Asman. Ayah dua anak yang berusia 36 tahun itu dihajar sampai tewas. Ususnya terburai. Kemudian, mayat Leang diseret sejauh dua puluh meter untuk diceburkan ke kali

Walaupun jenazah Leang akhirnya menyembul ke atas kali, namun versi lain dari cerita lisan yang beredar di kalangan masyarakat sekitar menyebutkan, mayat Leang tak pernah ditemukan. Cerita inilah yang sampai sekarang melegenda di kalangan warga Kalijodo.

Cerita permusuhan antarkelompok inilah yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi lewat tradisi cerita lisan antar komunitas. Salah satu pihak memandang Leang sebagai tokoh panutan, sedangkan kelompok lain melihatnya sebagai orang jahat yang berhasil disingkirkan.
Seperti virus yang menyerang tubuh, dendam tidak bisa dimusnakan seketika, dendam sudah tertanam di alam bawah sadar mereka. Kenyataan inilah yang mudah meletupkan persoalan sepele, sebagai akibat mabuk-mabukan dan percekcokan.

Walaupun demikian, sepeninggal Daeng Leang, bentrokan antar kelompok semakin jarang terjadi. Hal ini lantaran hanya ada satu tokoh yang disegani oleh kedua kelompok. Tokoh tersebut adalah Kamilong, seorang pensiunan tentara yang sudah lama menetap di kawasan tersebut.
Kamilong adalah perintis usaha perjud1an di kawasan tersebut. Berdasarkan penelitian Idham Azis, pada tahun 1980, Kamilong mulai merintis tempat perjud1an dengan membuka jud1 koprok tradisional. Jud1 jenis ini memang sedang digemari oleh kalangan masyarakat bawah, termasuk kelompok masyarakat Betawi yang tinggal di sekitar Kalijodo.

Selama menjalankan bisnis perjud1annya, tidak banyak gangguan didapatkan. Baik dari ulah para preman liar, maupun aparat keamanan yang sering ikut permainan tetapi lebih sering memeras. Untuk kelangsungan hidup usahanya itulah kemudian Kamilong mengorganisir kelompoknya, yang pada awalnya hanya dikelola oleh keluarga dekat dan kemudian diperluas keanggotaannya berdasarkan kesamaan asal daerah.

Bisnis yang terus berputar, membuat usahanya makin dikenal di kalangan pecandu jud1 di Jakarta. Untuk menggaet para penjud1 dari etnis Tionghoa, digelar jenis permainan Ta Shiao, yang digemari warga keturunan. Dari Ta Shiao inilah perkembangan jud1 kemudian semakin besar. Apalagi kawasan Kalijodo sangat strategis dan diapit oleh kawasan­kawasan Pecinan. Seperti Pluit, Muarakarang, di sebelah timur dan utara. Benteng Tangerang di sebelah barat dan lain-lain. Jadi bisa disebut perjud1an itu dapat tumbuh besar karena memang ada pasarnya.

Perjud1an di Kalijodo semakin besarkarena tempatnya yang terbuka. Banyak lorong-lorong dan gang sempit yang memudahkan para ‘bandot’ dan petaruh lari jika ada penggrebekan polisi. Apalagi, kawasan itu dikenal secara turun-temurun sebagai daerah tempat perjud1an. Berbagai fasilitas menarik juga diberikan pengelola lapak untuk memanjakan para penjud1, seperti pengawalan bagi mereka yang menang sampai di rumah.

Sedangkan upaya yang dilakukan para pengelola lapak untuk melestarikan usahanya adalah dengan melakukan pendekatan kepada aparat keamanan. Itu sudah dilakukan oleh Kamilong yang mengadakan pendekatan dengan pihak aparat keamanan, aparat Pemda, dan juga membantu warga masyarakat di sekitar lokasi perjud1an. Hal inilah yang membuat ia semakin disegani.
Namun, sepeninggal Kamilong pada tahun 1990-an, kelompok-kelompok jud1 yang semakin besar, seperti kehilangan induk semang. Persaingan antar kelompok sering terjadi. Sementara tokoh yang bisa meredam perselisihan tidak ada. Akibatnya, perselisihan yang pada awalnya hanya masalah sepele, dan akhirnya menjadi keributan antarkelompok dalam skala besar.

sumber: blognya pak kombes krisna murti http://catatansibedu.blogspot.co.id/2012/10/suatu-kisah-tentang-kekerasan-di.html
Baca Juga

1 Response to "Kisah Preman di Kalijodo Antara Suku Mandar dan Bugis Rebutan "Lahan""