Sejarah Larangan Pernikahan Suku Sunda dan Suku Jawa

Pernahkah kamu mendengar sebuah cerita tentang larangan pernikahan antara orang Sunda dengan orang Jawa? Atau pernahkah kamu yang notabenenya berasal dari suku Jawa dilarang menikah oleh orang tuamu karena pasanganmu itu berasal dari suku Sunda? Rasanya sangat menyedihkan bukan? Padahal, cinta itu murni perasaan yang timbul dari dalam hati tanpa memandang suku, ras, ataupun kelas sosial. Sangat menyakitkan jika kedua orang tua kita melarang kita untuk melangsungkan pernikahan hanya karena perbedaan suku, misalnya. Tapi, mengapa orang Sunda sangat dilarang untuk menikah dengan orang Jawa? Apa penyebabnya?



Cerita ini berawal dari kisah cinta raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan putri dari Negeri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi. Hayam Wuruk pun kemudian mengirimkan surat kehormataan kepada Maharaja Linggabuana, ayah dari sang permaisuri setelah mendapat restu dari Kerajaan Majapahit. Setelah menerima surat tersebut, Maharaja Linggabuana beserta rombongan pun berangkat menuju Majapahit dengan pengawalan yang tidak ketat.


Namun, sebelum rombongan dari Negeri Sunda sampai di Majapahit, Gajah Mada yang merupakan patih dari Kerajaan Majapahit sebelum Hayam Wuruk naik tahta kembali teringat akan Sumpah Palapa yang diucapkannya. Dalam sumpah tersebut, Gajah Mada berjanji akan menyatukan Nusantara di bawah kepemiminan Kerajaan Majapahit. Pada saat itu, hanya Negeri Sundalah yang belum dapat dipersatukan sehingga muncul niatan dari sang patih untuk memanfaatkan momentum pernikahan tersebut sebagai penanda penyerahan diri dari Negeri Sunda atas kekuasaan Kerajaan Majapahit.


Sesampainya rombongan Maharaja Linggabuana di Kerajaan Majapahit, mereka kemudian ditempatkan di Pesanggarahan Bubat. Sejurus kemudian, Gajah Mada pun mendesak raja Hayam Wuruk untuk menerima kehadiran Putri Dyah Pitaloka bukan sebagai sang calon istri, melainkan sebagai tanda takluknya Negeri Sunda serta pengakuan kekuasaan Kerajaan Majapahit di Nusantara. Hayam Wuruk pun bimbang. Di satu sisi, ia sangat menyukai sang putri dan ingin pernikahan berlangsung, di sisi lain Gajah Mada merupakan mahapatih kepercayaannya. Namun akhirnya, tanpa memedulikan perasaan sang raja, Gajah Mada pun menyatakan kepada utusan Linggabuana bahwa kedatangan rombongan Negeri Sunda adalah sebagai tanda takluknya mereka kepada kekuasaan Kerajaan Majapahit. Utusan tersebut sontak menolak dan akhirnya terjadi perselisihan hebat.

Rombongan Maharaja Linggabuana yang merasa dihina kemudian tidak terima sehingga memancing emosi sang patih. Akhirnya terjadilah peperangan yang tidak seimbang sehingga menyebabkan seluruh rombongan dari Negeri Sunda tewas, termasuk sang Maharaja Linggabuana. Putri Dyah Pitaloka yang tidak terima karena merasa dikhianati oleh Hayam Wuruk pun kemudian melakukan tindakan bela pati atau bunuh diri demi menjaga kehormatan Negerinya. Kematian Dyah Pitaloka membuat Hayam Wuruk merasa sedih dan dari sanalah hubungan antara ia dengan sang patih merenggang.



Menurut legenda, adik dari Dyah Pitaloka yang bernama Pangeran Niskalawastu Kencana menjadi satu-satunya anggota kerajaan yang masih hidup. Hal itu disebabkan pada saat rombongan kerajaan pergi ke Majapahit, ia tidak ikut serta karena usianya yang masih sangat muda. Setelah seluruh keluarga kerajaan tewas, akhirnya beberapa tahun kemudian ia diangkat sebagai pemimpin Negeri Sunda dan bergelar Prabu Niskalawastu Kencana.

Pada masa kepemimpinannya, sang prabu menetapkan sebuah kebijakan dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit dan memberlakukan peraturan estri ti luaran yang isinya larangan pernikahan dengan orang dari luar lingkungan kerabat Sunda atau dalam ini, bisa juga ditafsirkan sebagai larangan pernikahan dengan orang yang berasal dari kalangan Majapahit. Peraturan ini pun meluas dan kemudian menjadi sebuah tradisi sehingga menyebabkan munculnya larangan pernikahan antara suku Sunda dengan suku Jawa pada masa sekarang ini.

Sampai saat ini, tindakan penyerangan yang dilakukan oleh Gajah Mada bersama pasukannya masih membekas di hati masyarakat tanah Pasundan. Oleh karena itu, hingga saat ini kita tidak akan menemukan papan jalan yang bertuliskan “Gajah Mada” ataupun “Majapahit” di tanah sang Prabu Wangi. Memang ambisi seperti ambisi Patih Gajah Mada untuk menyatukan seluruh Nusantara itu penting untuk dimiliki dalam hidup dan membuat hidup jadi terasa lebih 'hidup'. Akan tetapi ambisi yang berlebihan justru dapat membawa petaka seperti kisah Raja Hayam Wuruk dan Putri Dyah Pitaloka di atas. Jadi, boleh aja sih guys punya ambisi baik, tapi jangan berlebihan hingga membutakan, ya!

sejarah yang tidak punya bukti mumpuni memang kadang akan terlupakan & hanya menjadi mitos. Mungkin yang ortunya jaman dulu banget ngarti yang beginian. Karna ane pun dulu juga sempet berhubungan sama cowo sunda tapi putus ditengah jalan karna ortu ane ga setuju. (bilangnya cari yang sama jawa saja). dan sekarang nikah sama jawa tulen juga, suami idaman ane. Terlepas dari yang namanya jodoh, walaupun beda suku kalo sudah jodoh ya akan bersatu.
Baca Juga

0 Response to "Sejarah Larangan Pernikahan Suku Sunda dan Suku Jawa"

Posting Komentar